Selamat Datang di ranah PZW Ciamis

Kami siap menampilkan informasi seputar Zakat dan Wakaf di Kabupaten Ciamis

Senin, 19 April 2010

SUMBER AJARAN ISLAM

SUMBER AJARAN ISLAM

MAKALAH

Tim Penyusun :

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Seperti; Al-Qur’an, Kedudukan Hadist, Ijma’, Qiyas, Pengertian Nash, Syari’ah, Teori Istinbath Hukum dalam Islam, serta Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep didalamnya.
Tim penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tim penyusun berharap semoga semua yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Akhirnya tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu tim penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.


Surabaya, 7 November 2006


Tim Penyusun


DAFTAR ISI


SAMPUL LUAR i
SAMPUL DALAM ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penelitian 1
BAB II : PEMBAHASAN 2
A. Al-Qur’an dan Ruang Lingkupnya 2
B. Kedudukan Hadist, Ijmak dan Qiyas 3
C. Pengertian Nash dan Syari’ah 4
D. Teori Konsep Istinbath Hukum dalam Islam 7
E. Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab 8
BAB III : KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2. Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3. Pengertian Nash dan Syari’ah.
4. Teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Pengertian ijtihad dan perbedaan mazdhab.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2. Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma’ dan Qiyas dalam menetapkan hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari’ah
4. Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5. Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
b. Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2. Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
3. Janji dan Ancaman
4. Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5. Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
c. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1. Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a) Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’

2. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1) Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3) Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.

B. KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1. Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2. Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara kamu.”
Maka dapat disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3. Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

C. PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1. Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a. Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”


b. Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.

D. TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).

E. IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
1. Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
2. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan


6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.

B. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)

C. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
2. Al-Qur’an
3. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
4. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
5. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
6. Istidlal (Istishhab)

D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.

BAB III
KESIMPULAN


Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA


• Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
• Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
• Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
• Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Minggu, 18 April 2010

Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Kehidupan Keagamaan

Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan karena diakui mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi banyak segi kehidupan itu menjadi mudah. Contoh paling sederhana, dahulu untuk mengetahui waktu shalat seorang muslim mesti melihat kedudukan matahari langsung dengan mata kepala. Sekarang cukup dengan melirik arloji yang melekat di pergelangan tangannya. Dahulu muslim Indonesia untuk melakukan ibadah haji ke Mekkah membutuhkan waktu berbulan-bulan, tetapi sekarang setelah ditemukan kapal udara perjalanan itu dapat dipersingkat, sehingga ibadah haji bisa dilakukan dengan waktu beberapa hari saja.
Pertanyaan kita adalah, apakah dengan aneka kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan iptek tersebut berdampak positif bagi peningkatan kualitas kehidupan keagamaan, atau malah sebaliknya; apakah perkembangan yang melejit dan deras dari saintek tersebut sudah diimbangi oleh kesiapan mental kita untuk menerimanya atau menolaknya, membelinya dan menggunakannya untuk memperlancar ibadah kita kepada Allah, untuk pembangunan, meningkatkan derajat, harkat dan martabat bangsa; apa saja yang harus kita lakukan untuk menyikapi derasnya kemajuan teknologi tersebut.

Masalah 1 : Kolonialisme Teknologi
Kita menyaksikan saintek yang canggih itu telah berkembang menjadi komoditas yang dijualbelikan. Mulai dari satelit, laser, dan nuklir sampai ke berbagai macam bank; ada bank uang, bank mata, bank sperma, bank ginjal, bank darah, sampai ke bank data-info; tranfusi darah, transplantasi jantung-ginjal-cornea-alat tubuh lainnya; bayi tabung; robot dan komputer dan segala macam teknologi keras maupun teknologi lunak dengan tingkat efesiensi dan presisi tinggi, termasuk teknologi perekayasaan keturunan (genetic engineering), kini sedang melanda umat manusia di dunia. Kita kini sedang mengalami masa-masa kolonialisme teknologi.
Berbeda dengan kolonialisme politik, kolonialisme teknologi jauh lebih culas (A.M. Saefuddin, “Akhlak dan Teknologi”, Bulletin Dakwah No. 6 dan 7/XII/1985, DDII, Jakarta). Culasnya kolonialisme teknologi antara lain bisa kita lihat di saat setelah peneliti sains memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April 1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme hidup ini – termasuk binatang – dapat diberikan hak paten. Memang terjadi perdebatan atas keputusan ini, tapi tak sedikit pula ilmuwan yang menganggap hal ini wajar-wajar saja (Haidar Bagir; Pengantar dalam Mahdi Ghulsyani, 1991 : 9). Kalau memang manusia telah mampu menciptakan suatu organisme hidup yang baru, lalu di manakah peran Sang Pencipta ? ini bisa memaksa manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah keluar dari lingkup sains.


Masalah 2 : Imperialisme Epistemologi
Di balik kemudahan-kemudahan akibat kemajuan sains dan teknologi, ada dampak yang tak terlihat, di antaranya pada pola pikir manusia – dan pada gilirannya tentu saja pada perilakunya. Ini tampak pada dominasi rasionalisme dan empirisme – pilar utama metode keilmuan (scientific method) – dalam penilaian manusia atas realitas-realitas; baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan.
Herman Kahn mengistilahkan, bahwa kemajuan sains dan teknologi menyebabkan meningkatnya kecenderungan-kecenderungan budaya inderawi, yaitu sesuatu yang bersifat empiris, duniawi, sekular, humanistik, pragmatis, utilitarian, dan hedonistik (Dikutip dari Ziauddin Sardar, 1988:102)
Perubahan paling besar yang terjadi pada manusia modern mungkin adalah yang menyangkut rasionalisme dan empirisme. Karena pengaruh ini, realitas yang dianggap nyata adalah yang tampak secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Selain itu – termasuk agama - adalah tak nyata, hanya mitos, obsesi, atau khayalan belaka. (A.B. Shah;1987.)
Dampak sains dan teknologi terhadap perilaku masyarakat telah menjadi realitas keseharian dalam kehidupan manusia. Hampir di seluruh negara Dunia Ketiga- termasuk negara-negara Muslim – kebijaksanaan pembangunan yang dipilih adalah meniru model pembangunan negara maju, yang juga melibatkan impor sains dan teknologi beserta nilai-nilai dibelakangnya,
Di balik kemudahan-kemudahan yang kita rasakan, Ilmu Pengetahuan (sains) dan Teknologi benar-benar berdampak buruk bagi kehidupan keagamaan mannusia. Ia telah melakukan imperialisme epistemologis seperti yang digambarkan oleh Ziauddin Sardar. Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya.
Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat (Ziauddin Sardar : 1987). Ini telah berlangsung sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, dan tampaknya akan terus berlangsung, kecuali jika mampu diciptakan epistemologi alternatif.

Tafakkur dan Taskhir : Sebuah Alternatif
Upaya umat Muslim untuk memahami, memikirkan, dan mengelola alam, baik fisis, biologis, ekonomis, maupun sosial sebenarnya telah dirintis oleh ulama pada Zaman Keemasan Islam selama 350 tahuun (abad 8 – 11 M), yakni para ulama yang memiliki wawasan agama, filsafat, dan ilmu dalam satau kesatuan utuh (Tb. Bacchtiar Rifa’I ; 1983). Upaya ini masih terus dikembangkan dan diperbaiki oleh Ilmuwan Muslim menuju sasaran ganda, yakni tafakkur (ilmu pengetahuan, science) dan taskhir (teknologi) yang makin hari makin modern.
Dalam kalangan Muslim baru Prof. Abdussalam yang memenangkan hadiah Nobel Fisika pada tahun 1979. Rangsangan-rangsangan dari ayat qurani dan ayat kauni baru tertangkap oleh kita secara verbalistis, belum ditekuni secara empiris. Daya jangkau para ulama (kiyai), ilmuwan Islam, dan sendikiawan Muslim terhadap ayat qurani dan ayat kauni maih rendah secara gradual karena berbagai alasan
Karena itulah Tafakkur dan Taskhir perlu terus dikembangkan, sebagai upaya memahami dan mengambil manfaat dari alam sesuai dengan rangsangan yang diberikan Allah melalui petunjuk-Nya yaitu Al-Quran dengan memakai analisis sains modern yang terlebih dahulu di pelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami.
Bagi Ilmuwan Muslim upaya ini adalah suatu keharusan, karena ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-sita Islam. (Ziauddin Sardar, 1987 : 172)

Desakralisasi dan Desekularisasi : Pembuktian Integrasi Ilmu dan Iman

Kesadaran terhadap kebuntuan yang terefleksi pada tak bermaknanya perkembangan budaya dewasa ini telah mendorong para cendikiawan Muslim yang memperoleh pendidikan “sekuler”, baik di Barat maupun di Timur, untuk melakukan peninjauan kembali pemikirannya tentang fenomena alam semesta. Kelelahan Intelektual yang berbarengan dengan Obsesi Intelektual pun telah mulai menumbuhkan kesadaran terhadap keperluan untuk meninjau kembali jalan pikiran manusia abad saintek ini.
Di pihak lain kita menjumpai pula perkembangan kecenderungan adanya kelelahan kesantrian ke arah pemikiran yang berubah drastis, dari yang bersifat normatif menuju kepada yang bersifat positif pragmatis.
Pihak yang pertama menumbuhkan gerakan desekularisasi, sedangkan pihaklainnya mengembangkan desakralisasi. Gerakan desekularisasi kita kenal dengan slogannya antara lain; Islamisasi Iptek (Saintek), Islamisasi Pemikiran. Dan di dalam waktu yang sama, gerakan desakralisasi menggaungkan parole antara lain; saintifikasi Islam, Sekularisasi Islam.
Sekarang kita menjumpai dua kubu pemikiran tersebut : desekularisasi pada kubu “umum” dan desakralisasi pada kubu “agama” yang keduanya bergerak dan digerakkan oleh cendikiawan Muslim. Hal ini muncul ke permukaan akibat dari sistem budaya dan sistem pendidikan yang dikotomis, yang memisahkan ilmu dari iman atau sebaliknya, yang memisahkan ilmu agama atau ilmu akhirat dari ilmu umum atau ilmu dunia dan sebaliknya.
Isolasi dan kontroversi antara kubu agamawan dan Ilmuwan tampaknya terjadi karena adanya kerancuan konsep nilai, teori, atau paradigma ilmu di kalangan para ahli kontemporer ((Lihat H.A.M. Saefuddin, Pengantar; dalam Yusuf Al-Qardlawi, “Metode dan Etika Pengembangan Ilmu”, Rosda 1989 : ix).
Integrasi kedua kubu pemikiran intelektual yang ishlah (modern) insya Allah mampu menjadi modal untuk melakukan perubahan, perbaikan, penyegaran, dan mengatur kembali kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada perbaikan kehidupan keagamaan umat..
Tinjauan kritis terhadap modernisasi Islami hendaknya kita lakukan terus-menerus sehingga Islam menjadi agama yang hidup, dan umat Muslim menjadi penerang bagi semesta alam. Adakah di antara kita yang memiliki harapan untuk menjadi Mujaddid di bidang intelektual dan sosial ? Untuk itu, umat Islam diingatkan oleh Hadits Nabi Muhammad sebagai berikut :” Allah mengirimkan pada akhir tiap abad, seorang laki-laki kepada umat-Nya untuk menyegarkan agama-Nya dan mengaturnya kembali” (HR. Abu Hurairah). Dan Firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Maidah: 3 yang artinya, “ Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku”.
Penutup
Masyarakat dan bangsa-bangsa penganut materialisme-kapitalisme dan materialisme-komunisme/sosialisme telah mentakan kegagalannya dalam modernisasi kehidupan ; mereka gagal dan tak berani mempersatukan kedua bagian wujud insan, yakni gumpalan tanah liat dan tiupan roh. Mereka telah sadar akan penderitaannya akibat percobaan pahit dari modernisasi materialisme selama lebih dari dua abad terakhir ini. Kini mereka mengintip, mulai menengok Islam, dan meminta bantuan pada umat Islam. Dan untuk itulah kita sekarang memerlukan laki-laki yang Mujaddid yang memimpin Ilmu Pengetahuan, perubahan, perbaikan, penyegaran, dan pelurusan kembali kehidupan umat menurut Al-Islam.

wallahu a'lam. (by : wahyupenamasciamis)

Daftar Bacaan

Depag RI, 1987 Quran dan Terjemahnya
A.B. Shah, 1987 Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor
H.A.M. Saefuddin, 1989 Pengantar; dalam Yusuf Qardlawi,“Metode dan Etika
Pengembangan Ilmu”, Rosda Bandung
______________, 1985. Akhlak dan Teknologi. Bulettin Dakwah DDI. Jakarta
Ziauddin Sardar, 1987. Masa Depan Islam, Pustaka Salman Bandung

Tafsir "Iyyaka Na'budu"

بحر العلوم للسمرقندي - (ج 1 / ص 4)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
قوله تعالى : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } هو تعليم؛ علم المؤمنين كيف يقولون ، إذا قاموا بين يديه في الصلاة ، فأمرهم بأن يذكروا عبوديتهم وضعفهم ، حتى يوفقهم ويعينهم فقال { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } أي نوحد ونطيع . وقال بعضهم { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } يعني إياك نطيع طاعة نخضع فيها لك . وقوله تعالى : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } يقول : بك نستوثق على عبادتك وقضاء الحقوق . وفي هذا دليل على أن الكلام قد يكون بعضه على وجه المغايبة وبعضه على وجه المخاطبة ، لأنه افتتح السورة بلفظ المغايبة وهو قوله : { الحمد للَّهِ } ثم ذكر بلفظ المخاطبة ، فقال : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } ؛ وهذا كما قال في آية أخرى { هُوَ الذى يُسَيِّرُكُمْ فِى البر والبحر حتى إِذَا كُنتُمْ فِى الفلك وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُواْ بِهَا جَآءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَآءَهُمُ الموج مِن كُلِّ مَكَانٍ وظنوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُاْ الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدين لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هذه لَنَكُونَنَّ مِنَ الشاكرين } {صلى الله عليه وسلم}[يونس : 22] فذكر بلفظ المخاطبة، ثم قال :{ هُوَ الذى يُسَيِّرُكُمْ فِى البر والبحر حتى إِذَا كُنتُمْ فِى الفلك وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُواْ بِهَا جَآءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَآءَهُمُ الموج مِن كُلِّ مَكَانٍ وظنوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُاْ الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدين لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هذه لَنَكُونَنَّ مِنَ الشاكرين} [ يونس : 22 ] هذا ذكر على المغايبة؛ ومثل هذا في القرآن كثير .
قوله تعالى : { اهدنا الصراط المستقيم } رويت القراءتان عن ابن كثير أنه قرأ «السراط» بالسين ، وروي عن حمزة أنه قرأ بالزاي ، وقرأ الباقون بالصاد؛ وكل ذلك جائز ، لأن مخرج السين والصاد واحد ، وكذلك الزاي مخرجه منهما قريب ، والقراءة المعروفة بالصاد قال ابن عباس رضي الله عنهما : { اهدنا } يعني أرشدنا ، { الصراط المستقيم } وهو الإسلام فإن قيل : أليس هو الطريق المستقيم؟ وهو الإسلام فما معنى السؤال؟ قيل له : الصراط المستقيم ، هو الذي ينتهي بصاحبه إلى المقصود . فإنما يسأل العبد ربه أن يرشده إلى الثبات على الطريق الذي ينتهي به إلى المقصود ، ويعصمه من السبل المتفرقة . وقد روي عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أنه قال : خط لي رسول الله صلى الله عليه وسلم خطاً مستقيماً ، وخط بجنبه خطوطاً ، ثم قال : إن هذا الصراط المستقيم وهذه السبل ، وعلى رأس كل طريق شيطان يدعو إليه ويقول : هلم إلى الطريق . وفي هذا نزلت هذه الآية { وَأَنَّ هذا صراطي مُسْتَقِيمًا فاتبعوه وَلاَ تَتَّبِعُواْ السبل فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذلكم وصاكم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } [ الأنعام : 153 ] فلهذا قال : اهدنا الصراط المستقيم واعصمنا من السبل المتفرقة . قال الكلبي : أمتنا على دين الإسلام .
وروي عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه قال : { اهدنا الصراط المستقيم } يعني ثبتنا عليه . ومعنى قول علي : ثبتنا عليه . يعني احفظ قلوبنا على ذلك ، ولا تقلبها بمعصيتنا . وهذا موافق لقول الله تعالى : { لِّيَغْفِرَ لَكَ الله مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صراطا مُّسْتَقِيماً } [ الفتح : 2 ] فكذلك هاهنا .
قوله تعالى : { صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } يعني طريق الذين مننت عليهم ، فحفظت قلوبهم على الإسلام حتى ماتوا عليه . وهم أنبياؤه وأصفياؤه وأولياؤه . فامنن علينا كما مننت عليهم .



أخبرنا الفقيه ، أبو جعفر قال : حدثنا أبو بكر ، أحمد بن محمد بن سهل ، القاضي قال : حدثنا أحمد بن جرير قال : حدثنا عمر بن إسماعيل بن مجالد قال : حدثنا هشام بن القاسم قال : حدثنا حمزة بن المغيرة ، عن عاصم ، عن أبي العالية في قوله تعالى : { اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } قال : هو النبي عليه السلام وصاحباه من بعده أبو بكر وعمر رضي الله عنهما قال عاصم : فذكرت ذلك للحسن البصري فقال : صدق والله أبو العالية ونصح .
وقوله تعالى : { غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِمْ } أي غير طريق اليهود . يقول : لا تخذلنا بمعصيتنا ، كما خذلت اليهود فلم تحفظ قلوبهم ، حتى تركوا الإسلام .
{ وَلاَ الضالين } يعني ولا النصارى ، لم تحفظ قلوبهم وخذلتهم بمعصيتهم حتى تنصروا . وقد أجمع المفسرون أن المغضوب عليهم أراد به اليهود ، والضالين أراد به النصارى ، فإن قيل : أليس النصارى من المغضوب عليهم؟ واليهود أيضاً من الضالين؟ فكيف صرف المغضوب إلى اليهود ، وصرف الضالين إلى النصارى؟ قيل له : إنّما عرف ذلك بالخبر واستدلالاً بالآية . فأما الخبر ، فما روي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أن رجلاً سأله وهو بوادي القرى : من المغضوب عليهم؟ قال : اليهود قال : ومن الضالين؟ فقال : النصارى؛ وأما الآية ، فلأن الله تعالى قال في قصة اليهود : { بِئْسَمَا اشتروا بِهِ أَنفُسَهُمْ أَن يَكْفُرُواْ بِمَآ أنزَلَ الله بَغْيًا أَن يُنَزِّلُ الله مِن فَضْلِهِ على مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَآءُو بِغَضَبٍ على غَضَبٍ وللكافرين عَذَابٌ مُّهِينٌ } [ البقرة : 90 ] وقال تعالى في قصة النصارى : { قُلْ يَأَهْلَ الكتاب لاَ تَغْلُواْ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ الحق وَلاَ تتبعوا أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ السبيل }[ المائدة : 77 ] .
«آمين» ليس من السورة . ولكن روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يقوله ويأمر به ، ومعناه ما قال ابن عباس : يعني كذلك يكون . وروي عن مجاهد أنه قال : هو اسم من أسماء الله تعالى ويكون معناه : يا الله استجب دعاءنا . وقال بعضهم : هي لغة بالسريانية . وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : مَا حَسَدَتْكُمْ اليَهُودُ فِي شَيْءٍ ، كَحَسَدِهِمْ فِي «آمين» خَاتَمِ رَبِّ العَالَمِينَ ، يَخْتِمُ بِهِ دُعَاءَ عِبَادِهِ المُؤْمِنِينَ . وقال مقاتل : هو قوة للدعاء واستنزال للرحمة . وروى الكلبي ، عن أبي صالح ، عن ابن عباس رضي الله عنهما : سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما معنى آمين؟ قال : رَبِّ افْعَلْ . ويقال : فيه لغتان «أمين» بغير مد ، و«آمين» بالمد ، ومعناهما واحد ، وقد جاء في أشعارهم كلا الوجهين . قال القائل :
تَبَاعَدَ عَنِّي فُطْحُلٌ إِذْ دَعَوْتُه ... آمِينَ فَزَادَ الله مَا بَيْنَنَا بُعْدَا
وقال الآخر :
يَا رَبِّ لا تَسْلُبَنِّي حُبَّهَا أَبَدَا ... وَيَرْحَمُ الله عَبْداً قَالَ : آمِينَا
وصلى الله على سيدنا محمد .







تفسير ابن كثير –
{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) } .
العبادة في اللغة من الذلة، يقال: طريق مُعَبّد، وبعير مُعَبّد، أي: مذلل، وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف. وقدم المفعول وهو { إياك }، وكرر؛ للاهتمام والحصر، أي: لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة. والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين، وهذا كما قال بعض السلف: الفاتحة سر القرآن، وسرها هذه الكلمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5] فالأول تبرؤ من الشرك، والثاني تبرؤ من الحول والقوة، والتفويض إلى الله عز وجل. وهذا المعنى في غير آية من القرآن، كما قال تعالى: { فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ } [هود: 123] { قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا} [الملك: 29] { رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا} [المزمل: 9]، وكذلك هذه الآية الكريمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .
وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة بكاف الخطاب، وهو مناسبة، لأنه لما أثنى على الله فكأنه اقترب وحضر بين يدي الله تعالى؛ فلهذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } وفي هذا دليل على أن أول السورة خبر من الله تعالى بالثناء على نفسه الكريمة بجميل صفاته الحسنى، وإرشاد لعباده بأن يثنوا عليه بذلك؛ ولهذا لا تصح صلاة من لم يقل ذلك، وهو قادر عليه، كما جاء في الصحيحين، عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب" . وفي صحيح مسلم، من حديث العلاء بن عبد الرحمن عن أبيه، عن أبي هريرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: "يقول الله تعالى: قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين، فنصفها لي ونصفها لعبدي، ولعبدي ما سأل، إذا قال العبد: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } [الفاتحة: 2] قال: حمدني عبدي، وإذا قال: { الرحمن الرحيم } [الفاتحة: 3] قال: أثنى علي عبدي، فإذا قال: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } [الفاتحة: 4] قال الله: مجدني عبدي، وإذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5] قال: هذا بيني وبين عبدي ولعبدي ما سأل، فإذا قال: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ } [الفاتحة: 6، 7] قال: هذا لعبدي ولعبدي ما سأل" .وقال الضحاك، عن ابن عباس: { إياك نعبد } يعني: إياك نوحد ونخاف ونرجو يا ربنا لا غيرك { وإياك نستعين } على طاعتك وعلى أمورنا كلها.
وقال قتادة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } يأمركم أن تخلصوا له العبادة وأن تستعينوه على أمركم.
وإنما قدم: { إياك نعبد } على { وإياك نستعين } لأن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والاهتمام والحزم هو أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، والله أعلم.

REFUNGSIONALISASI Pegawai Kementerian Agama :

Pegawai Kementerian Agama karena status yang disandangnya adalah Tokoh Agama yang harus mampu memainkan peran dari Para Nabi dalam membina mental masyarakatnya,:

1. (Q.S. Fathir : 24) Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran ; sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

2. (Q.S. Al-Baqoroh : 219) Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.


MISSI PEGAWAI KEMENAG
Pegawai Kemenag adalah Tokoh Agama / Pemimpin Umat yang berfungsi sebagai motivator bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang Beradab, yaitu Struktur Masyarakat yang dibangun berdasarkan Struktur Etis Agama, yang merupakan Misi Al-Islam, yakni :
1. Tauhid,
2. Moderasi,
3. Persamaan,
4. Persaudaraan, dan
5. Moralitas yang luhur.

Tiga hal pokok yang harus selalu dikedepankan oleh Pegawai Kemenag dalam mengupayakan terwujudnya masyarakat yang Maju/Beradab -- sejahtera lahir dan bathin, yaitu : Prinsip Humanisasi (Amar Ma'ruf) , Liberasi (Nahyil Munkar), dan Transendesi (Al-Iman Billah)

Hal ini akan berdampak :
1. Pada wilayah praksis sosiologis akan melahirkan masyarakat yang memiliki keshalehan sosial yang tinggi.
2. Secara praksis fungsional, ia akan dapat mengurangi resistensi konflik, terutama konflik yang mengatasnamakan agama.

Upaya menjadi pemimpin yang amanah
Oleh : wahyupenamasciamis

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Spesial Memperingati Hari Kartini 2010)

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (النحل: 97)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ.(ال عمران : 195)

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.


Khusus dalam Rumah Tangga;
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ( البقرة: 228)
……... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Sample :
Perempuan Perubah Sejarah ;

1. Siti Khodijah
2. Siti Aisyah ;
Sabda Nabi :
خَذَوا نِصْفَ دِيْنِكُمْ مِنْ هَذِهِ الْحُمَيْرَاءِ يَعْنِىْ عَائِشَةَ
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira (yakni Aisyah)

3. As-Syaikhah Syuhrah ; digelari Fakhr al-Nisa (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang Guru Imam As-Syafi'i
4. Siti Rabi'ah Adawiyah ; Tokoh Sufi terkenal
5. Cut Nyak Dien
6. Dewi Sartika
7. Rd. Ajeng Kartini
8. and soon

by:wahyupenamasciamis

MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI (SHALEH DAN BERADAB)

Iftitah
Masyarakat secara etimologi berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar syaraka (verb) atau syariek (noun) yang berarti teman. Dan dalam bahasa Inggris kata masyarakat itu sepadan dengan kata Society yang berasal dari kata Socius, artinya bergaul. Jadi, Masyarakat secara kebahasaan dapat diartikan sebagai kelompok orang yang berteman dan bergaul (Taufiq Rahman Dhohiri, dkk.,2004:167)
Sementara itu, dalam terminologi Para Sosiolog, masyarakat berarti kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi menuju sistem adat istiadat tertentu yang bersifat dan diikat oleh suatu rasa identitas bersama. Menurut Marion Levy, untuk membentuk suatu masyarakat diperlukan empat kriteria, yaitu :
1.Kemampuan untuk bertahan melebihi masa hidup seorang individu
2.Rekruitmen anggota melalui reproduksi
3.Kesetiaan pada suatu sistem bersama
4.Adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada
(Kananto Sunanto.,2000:56)

Tipologi Masyarakat (Menurut Al-Qur’an)
Dengan menggunakan definisi masyarakat di atas, menurut Al-Qur’an ada tiga Tipe Masyarakat :1. Tipe Masyarakat Muttaqien (Q.S. 2 : 3-5); 2. Tipe Masyarakat Kafirin (Q.S. 2 : 6-7); 3. Tipe Masyarakat Munafiqin (Q.S. 2 : 8-20)
Tipe Masyarakat yang pertama, yaitu masyarakat muttaqin, adalah tipikal masyarakat yang saleh, sementara dua tipe masyarakat yang disebut belakangan, yakni tipe masyarakat kafirin dan munafiqin bisa dikatakan sebagai tipikal masyarakat yang salah. Pembagian ini merupakan pembagian yang sah dan diakui serta memiliki implikasi yang besar terhadap keadaan suatu komunitas (Sa’id Hawa., 2000 : 7-9).
Deskripsi tipologi masyarakat versi al-Qur’an di atas dapat dipetakan sebagai berikut ini :

1. Tipologi Masyarakat Muttaqin
(Q.S. 2 : 3-5)

Monotheisme
Moralitas
Solidaritas
Taat Hukum
Visioner

2. Tipologi Masyarakat Kafirin
(Q.S. 2 : 6-7)
Paganisme
Hampa Moral
Individualis
Kebal Hukum
Pragmatisme


3. Tipologi Masyarakat Munafiqin
(Q.S. 2 : 8-20)
Hipokrit
Korup
Manipulatif
Patalogis
Destruktif
Arogan
Oportunis

MASYARAKAT MADANI
Dari ketiga Tipe Masyarakat di atas, tipe pertama adalah tipe ideal yang diinginkan Al-Qur'an. Dalam definisi "Negara", idealitas ini teroperasionalkan menjadi "Masyarakat Islam Madani (Sholeh dan Beradab)".
Secara factual historis Masyarakat Islam Madani, yaitu masyarakat Islam yang "rela" berdialog dengan realitas plural dan kemajemukan budaya, telah dibangun oleh Nabi SAW, dan para Sahabatnya di Madinah. Karena pada waktu itu Madinah sudah menjadi sebuah kota yang metropolis dengan berbagai keragaman budaya dan agama. Melalui Piagam Madinah, Nabi SAW, berhasil memperaktekkan struktur-struktur etis bagi terbentuknya masyarakat Islam yang terbuka. Sebab semangat keterbukaan itu merupakan wujud dari rasa keadilan yang diemban oleh umat Islam sebagai Umat Penengah/Ummatan Wasathan (Majid,1992 :132)
Untuk mengetahui struktur-struktur etis yang dipakai pijakan oleh Rasulullah dalam membangun Masyarakat Islam Terbuka, maka kita dapat kembali pada ajaran-ajaran al-Qur'an yang berbicara tentang nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Di antara struktur-struktur etis itu adalah :

a.Tauhid (monotheisme)
a.1. Idioligi pembebasan, sebagaimana yang tercermin dalam kalimat la ilaha illa Allah.
a.2. Tidak ada dominasi atau hegemoni; sebab kekuasaan itu hanya milik Allah (Q.S. 21 : 92)
b.Tawasuth (moderasi) > b.1. Nilai-nilai keadilan
c.Musawah (persamaan) > c.1. Tidak ada stratifikasi dalam aspek rasial
d.Ukhuwah (persaudaraan) > d.1. Ta'awun
e.Moralitas (akhlak) > e.1. Humanis

Dengan struktur etis tersebut di atas "Masyarakat Islam" mendapat pujian dari Allah sebagai umat terbaik (Q.S. 3 : 110), yang dilatarbelakangi dengan tiga alasan penting, yaitu :
1.Ajakan untuk melakukan tradisi Ma'ruf / Humanisasi
2.Upaya untuk melakukan kritik terhadap berbagai ketimpangan social yang telah melembaga menjadi sebuah "kemunkaran" / Liberasi
3.Memiliki kepercayaan yang kuat pada Allah sebagai sumber nilai, yang akan melahirkan kesejatian sikap dari kemuliaan moral /Transendensi.

Kementerian Agama Kab. Ciamis

DAFTAR PENYULUH AGAMA ISLAM
SE-KABUPATEN CIAMIS

No. Nama Jabatan
1 Drs.Maman Suherman Penyuluh Kec.Ciamis
2 Drs.H.Yuyun Rahayu Penyuluh Kec.Sadananya
4 Drs.Harun Kuswana Penyuluh Kec.Cikoneng
5 Yuyup Sujani,S.Ag. Penyuluh Kec.Cijeungjing
6 Elis Sulastri,S.Ag. Penyuluh Kec.Cisaga
7 Drs. Nana Al Husna Penyuluh Kec.Cisaga
8 Drs. Zenal Arifien Penyuluh Kec.Cimaragas
9 Wahyu, S.Ag. Penyuluh Kec.Kawali
10 Sofyan Jauhari,S.Ag. Penyuluh Kec.Panawangan
11 Drs. Rusdiawan Penyuluh Kec.Cipaku
12 Zenal Mudakir,S.Ag. Penyuluh Kec.Panjalu
13 Drs. L i l i Penyuluh Kec.Panumbangan
14 Drs. Dadang Penyuluh Kec.Panumbangan
15 Drs. Ma’turidi Penyuluh Kec.Cihaurbeuti
16 Sholih Anwar,S.Sos.I Penyuluh Kec.Lumbung
17 Holis Mukhlisin,BA. Penyuluh Kec.Baregbeg
18 Dra.Yuyus Yustini Penyuluh Kec.Sindangkasih
19 Ahmad Taufik,BA. Penyuluh Kec.Sukamantri
20 H.Basuni,S.Ag. Penyuluh Kec.Jatinagara
21 Drs.Ahmad Fauzi Penyuluh Kec.Tambaksari
22 Drs.Ateng Agus Asahi Penyuluh Kec.Sukadana
23 Drs.Hasan Penyuluh Kec.Rajadesa
24 Drs.Karsum Arifin Penyuluh Kec.Rancah
25 Nihayah Nihayatul Penyuluh Kec.Purwadadi
26 Drs.Ahmad Solihin Penyuluh Kec.Lakbok
27 Agus Salim,S.Ag. Penyuluh Kec.Langkaplancar
28 Drs.H.Wawan Bunyamin Penyuluh Kec.Pamarican
29 Solehudin,S.Ag. Penyuluh Kec.Banjarsari
30 Ali Ruhyana,BA. Penyuluh Kec.Padaherang
31 Dudung Suharyadi, BA. Penyuluh Kec.Kalipucang
32 Embun Bunyamin,S.Ag. Penyuluh Kec.Parigi
33 M a ‘ m u n, BA. Penyuluh Kec.Cijulang
34 Tatang Tahyan,S.Ag. Penyuluh Kec.Pangandaran
35 Hilman Saefullah,S.Ag. Penyuluh Kec.Cimerak
36 Abdul Gani,S.Ag. Penyuluh Kec.Cigugur
37 Dikdik Manaf ABS, S.Ag Penyuluh Kec.Mangunjaya
38 Asep Supriadi, S.Ag Takmir Masjid
39 Kurnianingsih, S. Ag. Penyuluh Kecamatan Sidamulih
40 Drs. Bubun Bunnyamin Penyuluh Kecamatan Pamarican/Cidolog

Kamis, 15 April 2010

MERAIH KETENANGAN HIDUP DENGAN JALAN MELATIH KEJUJURAN

اَََلْْحَمْدُ ِللهِ الَّّّّّّذِيْ اََََََََََََََََََََََََََََمَرَنَا باِلتَّقْْْوَى وَنَهَانَاعَنِ ا تِّبَاعِ الْهَوَى. اَشْهَدُ اَنْ لاَ إلهَ اِلاَّالله ُالْمَلِكُ اْلأَعْلىَ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى . اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَاَصْحَابِهِ الْمَوْعُوْدِيْنَ بِجَنَّةِ الْمَأْوَى. اَمَّابَعْدُ : اَ يُّهَاالنّاَسُ عَلَيْكُمْ بِالتَّّقْوَى بِامْتِثَالِ اَوَامِرِاللهِ وَاجْتِنَابِ الْهَوَى. اَعُوْذُباِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَ ِللهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Hadirin Rohimakumullah
Saat ini kita dipanggil untuk menghadap dan sujud kepada Allah secara berjama’ah; serempak tanpa membedakan status, pangkat, kekayaan, kelompok, madzhab, atau embel-embel apapun. Kita tinggalkan sejenak segala aktifitas dunia yang sangat melelahkan dan menjenuhkan, untuk bersama-sama melakukan penyerahan diri ke hadirat-Nya, semoga setelah selesai ibadah Jum’ah ini kita kembali segar, berfikir jernih, dan bertindak dengan nalar yang sehat.
Melalui mimbar ini, khatib mengajak pada diri sendiri dan juga pada semuanya untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. Dengan taqwa yang sebenar-benarnya; Taqwa yang diwujudkan dalam segala aktivitas; Taqwa yang tercermin dalam perilaku hidup kita sehari-hari, sampai ajal menjemput kita. Sebagaimana Firman Allah SWT ;
يَاأ َيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ا تَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأ َنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران :102)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim."

Hadirin Ahli Jum'ah !
Kita patut bersyukur bahwa di negeri ini umat Islam masih menjadi mayoritas. Artinya, penghuni negeri ini masih banyak yang beriman dan taat melaksanakan ajaran agama sebagai wujud ke-shalehannya; meskipun secara jujur harus diakui bahwa ternyata ke-shalehan itu baru sebatas kepatuhan terhadap ritual agama; Kepatuhan yang sering tersisa di mesjid dan pada saat shalat, atau pada saat ibadah haji - sehingga peningkatan mutu mentalitas atau perilaku umat belum begitu tampak dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Kita masih menyaksikan bagaimana tindak kejahatan (baik yang perorangan maupun kolektif) tidak saja dilakukan oleh orang yang tidak baragama, tapi juga dilakukan oleh orang yang secara ritual taat melaksanaan ajaran agama. Lantas kita bertanya; kemanakah nilai-nilai shalat, kemanakah hasil didikan puasa dan haji, kemanakah kata-kata indah yang terlantun dalam tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil ?, mana hasil dakwah yang nyata dalam kehidupan ?.


Hadirin Rohimakumullah !
Ada beberapa kemungkinan kenapa seorang Muslim yang beriman pada Allah dan suka malaksanakan ritual agamanya itu masih saja berbuat dosa.; Pertama, Mungkin karena imannya lemah sehingga tidak mampu melawan godaan, baik godaan nafsunya maupun godaan syetan. Kedua, mungkin imannya cukup kuat, tetapi godaan yang datang lebih kuat lagi, sehingga ia kalah pengaruh. Ketiga, mungkin imannya kuat dan godaanpun tidak seberapa kuat, tetapi terjebak juga dalam dosa karena kelengahan atau kebodohannya semata.
Kesalahan dan dosa memang tak bisa lepas dari perilaku manusia, sekalipun dia seorang muslim. Oleh karena itu, orang yang baik bukanlah orang yang tak pernah berbuat dosa, melainkan orang yang bertaubat atas dosa-dosanya itu. Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّ بَنِيْ أدَمَ خَطَّائُوْنَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ (رواه الترمذي وابن ماجه)
Artinya ; "Tiap Anak Adam (manusia) mempunyai kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat". (H.R. Titmidzi dan Ibn Majah)

Melalui Ibadah Jum'ah ini, marilah kita bertobat kepada Allah SWT ; mengakui kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan. Sebab dalam hidup, sekali waktu kita pernah jatuh ke dalam maksiat, kecil atau besar. Mungkin pernah kita palsukan angka dalam kwitansi, kita berdusta kepada orang lain, mengobral segudang janji yang tidak ditepati, kita pernah menyakiti bawahan, Mungkin pernah kita memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri, bahkan mungkin pernah kita menyebabkan orang lain menderita dalam hidupnya.
Sebelum Shalat, mari kita kenang kembali segala kesalahan yang sempat kita ingat. Merintihlah di hadapan Allah SWT, seraya beristihgfar kepada-Nya. Setelah Shalat jangan ulangi lagi maksiat yang pernah kita lakukan.
Hadirin Ahli Jum'ah !
Dosa yang dilakukan manusia pada awalnya disebabkan karena ketidak-jujur-an, manusia lebih memilih jalan yang tidak seharusnya ditempuh karena mengikuti hawa nafsunya, Ia telah mengingkari kata hatinya sendiri bahwa kebenaran harus ditegakkan.
Jika semua orang jujur ; Pejabat tidak korup dan bertindak sewenang-wenang, Para Ulama selalu bersikap arif dan tidak memperjualbelikan dalil agama untuk kepentingan pribadi dan golongannya, kaum tani, buruh, nelayan, pedagang, tidak menipu dalam menjalankan usahanya; para pegawai baik pegawai swasta maupun pegawai negeri, semuanya jujur dalam bekerja, tidak hanya rajin pada hari gajian saja, insya Allah Negara ini akan kembali berdiri tegak, sejajar dengan bangsa lain, aman dan damai, adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan. Sebagai Muslim sejati, orang yang jujur selalu memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, tidak membuat madharat, apalagi hanya menjadi beban orang lain.

Hadirin Ahli Jum'ah !
Jika kita mendapat kepercayaan, jagalah kepercayaan itu dengan kejujuran ; Pepatah mengatakan : "sekali lancung ke ujian seumur hidup tak percaya". Dari jiwa yang jujur akan timbul ketenangan (sakinah), ia akan tetap sabar dan tawakkal dalam menerima ujian dari Allah, ia tetap bekerja keras tidak akan putus asa apalagi sampai melakukan bunuh diri, Na'udzu billahi min dzalik. Semuanya itu tergantung pada kadar keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا(4)
Artinya : "Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, " (Q.S. Al-Fath : 4)

Dalam hal kejujuran dalam pengabdian, mungkin kita perlu belajar banyak kepada orang-orang sufi ; mereka tidak betah menjadi Muslim Rahbani yang menganggap ibadah hanya karena rasa takut semata (bukan atas dasar kepasrahan), sebab ibadah seperti itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali nilai plus dari sisi absensi saja; mereka juga tak mau berlama-lama menjadi Muslim Hayawani yang melakukan ibadah shalat, puasa, membayar zakat, ibadah haji, dan ibadah lainnya hanya karena ingin memperoleh laba yang bernama pahala, sebab ibadah seperti itu laksana berdagang yang berfikir untung-rugi, ibadah menjadi kurang makna kalau hanya untuk tidak mengalami defisit akhirat. Mereka lebih memilih menjadi Muslim Rabbani, yang melakukan ibadah hanya karena mengharap berjumpa dengan Allah Sang Maha Penyantun lagi penyayang.
Mudah-mudahan dengan belajar jujur pada diri sendiri dan mengakui kesalahan di hadapan Allah SWT, menjadikan kita selalu merasa dekat dan diperhatikan oleh Allah sehingga tidak ada satu celahpun untuk mencoba berbuat maksiat kepada-Nya". Semoga Allah senantiasa membimbing kita agar tetap berada di jalan-Nya. Amin.
بارك الله لي ولكم

Menyampaikan keBENARan Al-Islam

Dalam Islam, ada dua sisi ajaran : Nadzari dan Amali.
Nadzari berkaitan dengan benak dan jiwa, sehingga harus dipahami sekaligus diyakini, serta bersifat ke dalam. Apabila sumber dan interpretasinya sudah dipastikan kebenarannya, itulah yang dinamakan Akidah.
Sedangkan Amali berhubungan dengan pengamalan di dunia nyata yang disebut Syari’ah.

Akidah adalah sendi utama. Syari’ah bisa saja tidak dilaksanakan (semestinya) selama akidah tetap dipegang teguh, itulah sebabnya kenapa dalam pelaksanaan syari’ah ada istilah Rukhshah atau dispensasi.

Masalahnya : seringkali agama (baca : Islam) hanya dipahami dari satu aspek, yaitu aspek transendental atau ideal-nya saja. Kalau dilihat dari aspek ini agama adalah sesuatu yang utuh, mutlak benar, dan sempurna.

Namun, agama tidak berada di awan gemawan. melainkan diturunkan ke bumi untuk pedoman manusia dalam memfungsikan dirinya selaku khalifah. Berarti agama juga merupakan kenyataan sosial, bahkan suatu institusi yang berdampak dan tidak terlepas dari komunitas dan organisasi, malah selalu terlibat dengan sistem sosial lainnya, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

Islam adalah agama universal yang tetap tegar dan relevan dengan perkembangan zaman. hal itu didukung oleh hukum-hukum syari’ah yang luwes dan elastis.

Dalam perakteknya, Islam juga selalu memperhatikan pengaruh globalisasi (Al maslahatu tatajaddadu wa tataghoyyaru bi taghayyuril azman wal amkan). Di sinilah Islam mengenalkan istilah nurani yang disebut Qaulan Sadida dalam menyampaikan kebenaran. Intinya, walaupun kebenaran wajib kita kemukakan, namun harus dikemas sebaik mungkin agar mengenai sasaran, bahkan kadang-kadang harus off the record dulu sampai situasi dan kondisinya sudah memungkinkan. (lihat Q.S. Al-Ahzab : 70).

يَاأَ يُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70)
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا(71)

Hai Orang-orang yang beriman, : bertaqwalah kalian pada Allah, dan katakanlah (kebenaran) dengan perkataan yang BENAR (?).
Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta`ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Rabu, 14 April 2010

Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam

Menurut konsep Islam, bahwa manusia itu diciptakan dari intisari tanah dan berkembang dalam kandungan ibu menurut evolusi mani, darah, daging dan tulang. Setelah masa empat bulan perkembangan, dihembuskanlah ke dalamnya roh atau jiwa. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Nuh ayat 141; Surat Al-Mukminun ayat 12-16; dan Surat Al-Sajdah ayat 7-9;serta hadits Nabi Muihammad SAW, yang berbunyi :
انّ احدكم يجمع خلقه في بطن امّه اربعين يوما نطفة ثم ّ يكون علقة مثل ذلك
ثمّ يكون مضغة مثل ذلك ثم ّ يرسل اليه الملك فينفخ فيه الرّوح - رواه البخاري ومسلم -


Artinya :
Kamu diciptakan dalam kandungan ibu empat puluh hari mani,selama itu pula gumpalan darah, dan selanjutnya selama itu pula gumpalan daging; kemudian dikirimkanlah malaikat dan ia hembuskan ke dalamnya roh… (Al-Hadits).

Dengan demikian, manusia tersusun atas dua unsur, yaitu unsur materi, yakni tubuh yang berasal dari intisari tanah di alam materi (di bumi ini);dan unsur immateri, yakni jiwa yang berasal dari alam immateri atau alam gaib. Tubuh akan kembali ke tanah dan jiwa akan kembali ke alam gaib atau alam rohani.(Harun Nasution, 1983. hal.59-61) Lantas apakah yang membuat janin hidup dan berkembang dalam kandungan ibu selama empat bulan ?, menurut ibn Maskawaih seperti yang dikutip Harun Nasution: yang membuat janin hidup dan berkembang adalah hayat yang terdapat dalam sperma dan ovum, dengan demikian jiwa (ruh) bukanlah hayat.(Harun Nasution, Ibid hal. 62))
Jiwa itu sendiri mempunyai dua daya, yaitu daya fikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut kalbu (mengenai daya berfikir dapat dibaca antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 164; dan daya merasa dapat dibaca pada QS. Asy-Syu’ara ayat 192-194, QS. Al-Hujurat ayat 7, dan QS. Al-Hajj ayat 46).
Dalam sejarah Islam, kedua daya tersebut di atas dikembangkan oleh para ulama. Kaum Filosof lebih mengembangkan akal daripada kalbu, sedangkan kaum Sufi sebaliknya lebih mengembangkan daya rasa daripada daya pikir. Di masa lampau umat Islam lebih mengutamakan keindahan rohani dengan ketinggian akal dan kesucian hatinya. Karena itu, Insan Kamil di masa lampau dijumpai dalam bidang filsafat, terutama dalam bidang tasawuf. Filosof, ulama tauhid dan ulama fikih masa lampau selalu memperhatikan pembinaan kalbu melalui ibadah yang banyak, dan sufi tidak pula mengabaikan pembinaan akal kalbu ilmu fikih, ilmu tauhid, bahkan juga melalui filsafat.(Harun Nasution, Ibid hal. 62-67)
Adanya ketiga unsur manusia beserta alat-alatnya seperti telah tersebut di atas menunjukkan bahwa penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia merupakan makhluk pilihan (QS.20 : 122); dijadikan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. 95:4); manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan bermartabat (QS.17:70); dibandingkan dengan makhluk lain, manusia memiliki kapasitas intelegensia yang paling tinggi (QS.2:31-33); manusia mempunyai kecenderungan dekap kepada Tuhan dan sadar akan kehadiran-Nya jauh di dasar sanubarinya, penyimpangan dan keingkaran kepada-Nya muncul ketika ia menyimpang dari fitrahnya (QS.7:127;30;43); manusia memiliki kesadaran moral yang dapat membedakan baik dan jahat melalui inspirasi fitri yang ada padanya (QS.61:7-8); segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia, karenanya manusia berhak memanfaatkannya dengan cara yang sah (QS. 2:29; 45:13); jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan dzikir atau mengingat Allah (QS.13 28; 84:6); setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia setelah ia meninggal dan selubung rohnya disingkapkan (QS.50:22); manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan baik sejak awal (QS.30:30); manusia diberi kebebasan kemauan, bebas untuk memilih tingkah lakunya sendiri (QS.18:29)

Hakekat Manusia bagi pendidikan

Untuk memajukan kehidupannya, manusia diperintahkan untuk belajar secara terus-menerus sepanjang hidupnya, dan ia telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai Khalifah dan pengelola di muka bumi, dan memanfaatkan semua yang ada untuk kemajuan dan kesejahteraan hidupnya dalam rangka memenuhi tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada Pencipta-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, Surah az-Zariyat :56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”

Itulah antara lain latar belakang keyakinan yang mendasar bahwa seluruh proses kehidupan manusia ditandai dengan kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan. Hal ini senada dengan pernyataan Profesor Rupert C. Lodge yang menyatakan bahwa hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup. (Rachmat Djatnika, 1986, hlm.92)
Manusia hidup tidak sebatas insting seperti halnya hewan. Dengan akal, perasaan, kemauan, dan kemampuan-kemampuan yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya dan menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai cita-citanya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampai, kini, dan mendatanag, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk sejarah.
Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin meniptakan dunia kehidupannya sendiri dan mengatasi dunia relitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui diri sendiri secara terus-menerus.(Fuad Hassan, 1983, hlm.30-34) Dengan kata lain, manusia di samping sebagai makhluk sejarah, ia juga dikuasai sejarah. Oleh karena itu, ia tidak hanya berada dalam dunianya, tetapi ia hidup bersama dan berdialog dengan kehidupan. (Paulo Freire, 1971.hlm.76-77)
Menurut Iman al-Ghazali, salah satu sifat kodrati manusia ialah : tidak berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. (Al-Ghazali, antara lain :1986,1976, dan 1983) Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Makin jauh rahasia alam yang dapat diselidiki, makin banyak daeerah misteri yang tidak diketahui, dan makin tinggi kekagumannya kepada Penciptanya, sebagaimana dikatakan oleh Joachim Wach dalam bukunya Sociologi of Religion : Mysterium, tremendum et fascinosum.(Joachim Wach, 1971,hlm.14)
Sadar akan kodratnya yang tidak mau berhenti mencar kebenaran, sedang selalu ada tabir rahasia yang tidak terungkap, maka manusia dalam mengembangkan kehidupannya selalu berada dalam dua modalitas kebebasan untuk mandiri dan ketergantungan dengan alam dan masyarakatnya, maka terjadilah pertentangan yang terus-menerus antara individu dan masyarakat.
Tetapi bagaimanapun individu pada akhirnya harus dapat menemukan identitas kepribadiannya sendiri, yang berbeda dengan orang lain. Ia harus menyadari dan mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan, dan maksud Tuhan menciptakan makhluk atau semua yang ada ini.
Itulah sebabnya, maka pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, tetapi dalam prakteknya banyak lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang cenderung lebih mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan daripada keduniawian, karena kehidupan ukhrawi dpandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi dipandang sebagai sementara dan bukan terakhir.
Berbeda dengan konsep tabularasa dari John Locke (1632-1704) yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagaimana kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya kemana jiwa itu akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata lain, kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat. Dalam filsafat Agama Islam, manusia adalah zat theomorfis dalam persaingannya. Artinya merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan. Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem “Allah – Syaithan”.(Ali Syari’ati,1980.hlm.125).Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya terserah kepada manusia sendiri. Manusia mempunyai kehendak bebas, ia berpeluang untuk menjadi orang jahat bagaikan syetan, dan ia juga berpeluang untuk menjadi orang shaleh yang amat dekat kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, Surah al-An’am:164 :

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(164)
“…..Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemadharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain, kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Sebagai zat theomorpis, manusia mampu menyadari bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan yang utuh, semua fenomena alam semesta bersifat kausal, utuh dan kontinum, di mana setiap sesuatu mempunyai posisi dan peran masing-masing secara otonom, tetapi ia menjadi bermakna hanya karena kaitannya dengan keseluruhan. Inilah sebabnya, maka agar dapat diperoleh kebenaran yang utuh, kita tidak boleh melihat sesuatu secara sepotong-potong, terlepas dari ikatannya dengan keseluruhan. Bagi orang yang benar-benar pasrah kepada Tuhan, ia mampu menerima setiap peristiwa betapa tragis dan menyakitkan sebagai suatu hal yang tidak final, karena hal itu merupakan bagian dari keseluruhan, yang pada akhirnya kembali kepada Penciptanya, dan oleh karena itu diyakini akan berakhir pada tujuan yang baik, yang pada saat ini belum diketahui tetapi telah diyakini kebenarannya.(Ismail R. faruqi, 1984. hlm.56-64)
Itulah sebabnya mengapa salah satu prinsip dari sistem pendidikan Islam adalah menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia meliputi dimensi jasmani dan rohani, dan sesuai dengan fitrahnya meliputi semua aspek kemanusiaan dan kehidupan, baik yang dapat dijangkau oleh akal maupun yang hanya dapat diimani melalui kalbu. Semuanya dikembangkan secara menyeluruh dan seimbang, bukan hanya akalnya, tetapi juga kalbunya, bukan hanya lahiriahnya, tetapi juga bathiniahnya. (Muhammad Qutub,1984. hlm.27-28)
Dengan demikian , pendidikan – menurut konsep Islam – antara lain berarti mengembangkan, melatih, memfungsikan, serta mengoptimalkan fungsi-fungsi berbagai macam alat manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah secara integral sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada-Nya.

What is The ISLAM ???

Islam pada dasarnya adalah penyerahan absolut manusia kepada Tuhan. Dari akar kata Aslama, secara harfiah Islam berarti Kepasrahan. Karena itu, Islam yang berpangkal pada kepasrahan, bukan hanya khas ajaran Muhammad. Semua Nabi dan Rasul Allah termasuk 124 ribu Nabi yang tidak disebut dalam Al-Quran, tidak membawa amanat lain kecuali pesan kepasrahan diri pada Tuhan. ( Q.S. Al-Baqarah : 133)

"Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."

Masalahnya; ajaran-ajaran para Rasul itu kini telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga pesan Kepasrahan hanya pada Allah menjadi rancu dan selanjutnya memunculkan bentuk-bentuk kepasrahan yang lain.
Dalam tubuh Umat Islam sendiri, Keimanan pada Allah baru sebatas pengakuan secara formal dan kesediaan melaksanakan hal-hal yang bersifat ritual,
Ibadah ritual sering dianggap sebagai tujuan akhir, sehingga mengerjakan shalat pun sekedar terbebas dari kewajiban dan ancaman Allah. Ibadah dilakukan hanya untuk mengisi absensi, atau supaya tidak defisit pahala. Istilah Lillahi ta’ala hanya tinggal di bibir.
Lebih parah lagi kalau masalah ibadah ritual sudah diramaikan oleh Ego masing-masing pengekor madzhab. Perbedaan furu’iyah diperuncing dengan motif politis dan akhirnya merobek tatanan kepasrahan kepada Allah, lantas haruskah Allah dibagi-bagi menjadi Tuhan-Tuhannya Madzhab ?..
Mungkinkah, gara-gara definisi Shalat: “Ucapan-ucapan dan gerakkan-gerakkan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”, Shalat sebagai tiang pokok agama itu tercabut dari fungsinya,? yaitu : menciptakan suasana yang humanis, liberalis, dan transenden.
Kita sering bangga melihat orang patuh mengerjakan shalat, bahkan ke mekkah pun tak cukup sekali, akan tetapi kebanggaan itu lenyap seketika ketika kita tahu bahwa kepatuhan itu hanya sering tersisa di mesjid dan pada saat shalat, atau pada saat ibadah haji, sementara peningkatan mutu mentalitas atau perilaku belum begitu tampak dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa , buktinya ? silakan chek sekeliling kita, betapa banyak bangsat mengaku dermawan, dan dorna mengaku ulama. Semoga kita tidak……………………………………..

Wassalam, Wahyu Penamas.

LEBARAN; MUDIK DAN BERHASIL MENJADI KOMUNITAS TERBAIK

Salah satu hikmah dari ber-Iedul Fitri adalah berubahnya sifat kebersamaan social kita yang tadinya hanya bersifat kuantitatif (community atau society), sekarang menjadi kualitatif (Bukan sekedar komunitas melainkan telah menjadi sebuah ummah).

Ummah atau umat itu berbeda dengan community yang hanya sekedar perkumpulan manusia. Dalam konsep Ummah, manusia itu sederajat di hadapan Allah. Tolok ukur kemulyaan manusia hanya satu dan sangat ruhaniah, yaitu ketakwaan. Maka kalau di antara suatu komunitas Muslim ada kedudukan dan fungsi-fungsi yang membuat seseorang menindas dan yang lainnya ditindas, maka konsep Ummah belum terpenuhi.

Apakah secara kualitas kita telah sungguh-sungguh ber-Idul Fitri atau belum. Tetapi memang berlalunya hari raya demi hari raya selama ini belum cukup mengubah perhubungan social yang eksploitatif, diskriminatif, dan represif di antara kaum Muslimin sendiri.

Iedul Fitri itu kembali Fitrah; Kembali dari kekalahan menuju kemenangan. Bukan kemenangan atas orang lain, melainkan sanggup mengendalikan diri, meyelesaikan segala kondisi diri kepada apa yang dikehendaki Allah.

Iedul Fitri itu Iedul Bayi. Kalau kita sudah sanggup seperti bayi, menanglah kita. Bayi itu kalau menangis, ya karena ia jujur mau menangis. Kalu ia omong, tak ada jarak apalagi pertentangan antara kata-katanya dengan suara hati dan fikirannya. Kalau senang ia tertawa, tak ada yang disembunyikan, dalam arti ia jujur sejujur-jujurnya. Bayi tak punya kesanggupan untuk kufur terhadap Sunnatullah.

Dalam konteks budaya kita, ucapan "selamat Iedul Fitri" sama dan sebangun dengan ucapan "Selamat Lebaran". Secara harfiyah, “Lebar” adalah bahasa jawa yang berarti "usai". Usai training menuju “pertandingan” yang sebenarnya. Sebab puasa Ramadhan itu sekedar berlatih, agar kita sanggup berpuasa atau “mewajarkan” konsumsi – konsumsi hidup sehari-hari, atau berpuasa apa pun secara mikro maupun makro. Dengan Lebaran itulah mestinya kita memulai puasa yang sesungguhnya dalam mengarungi hiruk-pikuk kehidupan.

Dalam Lebaran ada ucapan Minal ‘Aidin wal Faizin, fi Kulli “Amin wa Antum bikhair. Maksud do’a itu adalah bahwa sesudah lulus puasa, kita menjadi tergolong dalam kalangan orang yang kembali (wajar) dan menang, di sepanjang tahun mudah-mudahan semua terawat dalam kebajikan.

Dari perspektif 'Ummah", berarti orang yang kelaparan dan kekenyangan itu kalah. Juga orang yang terlalu miskin dan terlalu kaya itu kalah, keduanya mudah terpeleset ke dalam kondisi Kufur. Yang menang adalah yang biasa-biasa, bukankah puasa Ramadhan menggiring kita agar menjadi yang tengah-tengah, yang sedengan. Umat Islam juga disebut Ummatan wasathan, yang moderat, lentur, bukan kaku dan lembek; Tak kurang, tak lebih, tak radikal, tak kompromis; Tidak foya-foya, tidak menyiksa diri; Tidak hedonis, tidak masokhis; Sakmadya alias meujeuhna atawa Pas, itulah yang terbaik.