Selamat Datang di ranah PZW Ciamis

Kami siap menampilkan informasi seputar Zakat dan Wakaf di Kabupaten Ciamis

Minggu, 18 April 2010

Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Kehidupan Keagamaan

Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah lapangan kegiatan yang terus menerus dikembangkan karena diakui mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi banyak segi kehidupan itu menjadi mudah. Contoh paling sederhana, dahulu untuk mengetahui waktu shalat seorang muslim mesti melihat kedudukan matahari langsung dengan mata kepala. Sekarang cukup dengan melirik arloji yang melekat di pergelangan tangannya. Dahulu muslim Indonesia untuk melakukan ibadah haji ke Mekkah membutuhkan waktu berbulan-bulan, tetapi sekarang setelah ditemukan kapal udara perjalanan itu dapat dipersingkat, sehingga ibadah haji bisa dilakukan dengan waktu beberapa hari saja.
Pertanyaan kita adalah, apakah dengan aneka kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan iptek tersebut berdampak positif bagi peningkatan kualitas kehidupan keagamaan, atau malah sebaliknya; apakah perkembangan yang melejit dan deras dari saintek tersebut sudah diimbangi oleh kesiapan mental kita untuk menerimanya atau menolaknya, membelinya dan menggunakannya untuk memperlancar ibadah kita kepada Allah, untuk pembangunan, meningkatkan derajat, harkat dan martabat bangsa; apa saja yang harus kita lakukan untuk menyikapi derasnya kemajuan teknologi tersebut.

Masalah 1 : Kolonialisme Teknologi
Kita menyaksikan saintek yang canggih itu telah berkembang menjadi komoditas yang dijualbelikan. Mulai dari satelit, laser, dan nuklir sampai ke berbagai macam bank; ada bank uang, bank mata, bank sperma, bank ginjal, bank darah, sampai ke bank data-info; tranfusi darah, transplantasi jantung-ginjal-cornea-alat tubuh lainnya; bayi tabung; robot dan komputer dan segala macam teknologi keras maupun teknologi lunak dengan tingkat efesiensi dan presisi tinggi, termasuk teknologi perekayasaan keturunan (genetic engineering), kini sedang melanda umat manusia di dunia. Kita kini sedang mengalami masa-masa kolonialisme teknologi.
Berbeda dengan kolonialisme politik, kolonialisme teknologi jauh lebih culas (A.M. Saefuddin, “Akhlak dan Teknologi”, Bulletin Dakwah No. 6 dan 7/XII/1985, DDII, Jakarta). Culasnya kolonialisme teknologi antara lain bisa kita lihat di saat setelah peneliti sains memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April 1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme hidup ini – termasuk binatang – dapat diberikan hak paten. Memang terjadi perdebatan atas keputusan ini, tapi tak sedikit pula ilmuwan yang menganggap hal ini wajar-wajar saja (Haidar Bagir; Pengantar dalam Mahdi Ghulsyani, 1991 : 9). Kalau memang manusia telah mampu menciptakan suatu organisme hidup yang baru, lalu di manakah peran Sang Pencipta ? ini bisa memaksa manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah keluar dari lingkup sains.


Masalah 2 : Imperialisme Epistemologi
Di balik kemudahan-kemudahan akibat kemajuan sains dan teknologi, ada dampak yang tak terlihat, di antaranya pada pola pikir manusia – dan pada gilirannya tentu saja pada perilakunya. Ini tampak pada dominasi rasionalisme dan empirisme – pilar utama metode keilmuan (scientific method) – dalam penilaian manusia atas realitas-realitas; baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan.
Herman Kahn mengistilahkan, bahwa kemajuan sains dan teknologi menyebabkan meningkatnya kecenderungan-kecenderungan budaya inderawi, yaitu sesuatu yang bersifat empiris, duniawi, sekular, humanistik, pragmatis, utilitarian, dan hedonistik (Dikutip dari Ziauddin Sardar, 1988:102)
Perubahan paling besar yang terjadi pada manusia modern mungkin adalah yang menyangkut rasionalisme dan empirisme. Karena pengaruh ini, realitas yang dianggap nyata adalah yang tampak secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Selain itu – termasuk agama - adalah tak nyata, hanya mitos, obsesi, atau khayalan belaka. (A.B. Shah;1987.)
Dampak sains dan teknologi terhadap perilaku masyarakat telah menjadi realitas keseharian dalam kehidupan manusia. Hampir di seluruh negara Dunia Ketiga- termasuk negara-negara Muslim – kebijaksanaan pembangunan yang dipilih adalah meniru model pembangunan negara maju, yang juga melibatkan impor sains dan teknologi beserta nilai-nilai dibelakangnya,
Di balik kemudahan-kemudahan yang kita rasakan, Ilmu Pengetahuan (sains) dan Teknologi benar-benar berdampak buruk bagi kehidupan keagamaan mannusia. Ia telah melakukan imperialisme epistemologis seperti yang digambarkan oleh Ziauddin Sardar. Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya.
Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat (Ziauddin Sardar : 1987). Ini telah berlangsung sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, dan tampaknya akan terus berlangsung, kecuali jika mampu diciptakan epistemologi alternatif.

Tafakkur dan Taskhir : Sebuah Alternatif
Upaya umat Muslim untuk memahami, memikirkan, dan mengelola alam, baik fisis, biologis, ekonomis, maupun sosial sebenarnya telah dirintis oleh ulama pada Zaman Keemasan Islam selama 350 tahuun (abad 8 – 11 M), yakni para ulama yang memiliki wawasan agama, filsafat, dan ilmu dalam satau kesatuan utuh (Tb. Bacchtiar Rifa’I ; 1983). Upaya ini masih terus dikembangkan dan diperbaiki oleh Ilmuwan Muslim menuju sasaran ganda, yakni tafakkur (ilmu pengetahuan, science) dan taskhir (teknologi) yang makin hari makin modern.
Dalam kalangan Muslim baru Prof. Abdussalam yang memenangkan hadiah Nobel Fisika pada tahun 1979. Rangsangan-rangsangan dari ayat qurani dan ayat kauni baru tertangkap oleh kita secara verbalistis, belum ditekuni secara empiris. Daya jangkau para ulama (kiyai), ilmuwan Islam, dan sendikiawan Muslim terhadap ayat qurani dan ayat kauni maih rendah secara gradual karena berbagai alasan
Karena itulah Tafakkur dan Taskhir perlu terus dikembangkan, sebagai upaya memahami dan mengambil manfaat dari alam sesuai dengan rangsangan yang diberikan Allah melalui petunjuk-Nya yaitu Al-Quran dengan memakai analisis sains modern yang terlebih dahulu di pelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami.
Bagi Ilmuwan Muslim upaya ini adalah suatu keharusan, karena ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-sita Islam. (Ziauddin Sardar, 1987 : 172)

Desakralisasi dan Desekularisasi : Pembuktian Integrasi Ilmu dan Iman

Kesadaran terhadap kebuntuan yang terefleksi pada tak bermaknanya perkembangan budaya dewasa ini telah mendorong para cendikiawan Muslim yang memperoleh pendidikan “sekuler”, baik di Barat maupun di Timur, untuk melakukan peninjauan kembali pemikirannya tentang fenomena alam semesta. Kelelahan Intelektual yang berbarengan dengan Obsesi Intelektual pun telah mulai menumbuhkan kesadaran terhadap keperluan untuk meninjau kembali jalan pikiran manusia abad saintek ini.
Di pihak lain kita menjumpai pula perkembangan kecenderungan adanya kelelahan kesantrian ke arah pemikiran yang berubah drastis, dari yang bersifat normatif menuju kepada yang bersifat positif pragmatis.
Pihak yang pertama menumbuhkan gerakan desekularisasi, sedangkan pihaklainnya mengembangkan desakralisasi. Gerakan desekularisasi kita kenal dengan slogannya antara lain; Islamisasi Iptek (Saintek), Islamisasi Pemikiran. Dan di dalam waktu yang sama, gerakan desakralisasi menggaungkan parole antara lain; saintifikasi Islam, Sekularisasi Islam.
Sekarang kita menjumpai dua kubu pemikiran tersebut : desekularisasi pada kubu “umum” dan desakralisasi pada kubu “agama” yang keduanya bergerak dan digerakkan oleh cendikiawan Muslim. Hal ini muncul ke permukaan akibat dari sistem budaya dan sistem pendidikan yang dikotomis, yang memisahkan ilmu dari iman atau sebaliknya, yang memisahkan ilmu agama atau ilmu akhirat dari ilmu umum atau ilmu dunia dan sebaliknya.
Isolasi dan kontroversi antara kubu agamawan dan Ilmuwan tampaknya terjadi karena adanya kerancuan konsep nilai, teori, atau paradigma ilmu di kalangan para ahli kontemporer ((Lihat H.A.M. Saefuddin, Pengantar; dalam Yusuf Al-Qardlawi, “Metode dan Etika Pengembangan Ilmu”, Rosda 1989 : ix).
Integrasi kedua kubu pemikiran intelektual yang ishlah (modern) insya Allah mampu menjadi modal untuk melakukan perubahan, perbaikan, penyegaran, dan mengatur kembali kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada perbaikan kehidupan keagamaan umat..
Tinjauan kritis terhadap modernisasi Islami hendaknya kita lakukan terus-menerus sehingga Islam menjadi agama yang hidup, dan umat Muslim menjadi penerang bagi semesta alam. Adakah di antara kita yang memiliki harapan untuk menjadi Mujaddid di bidang intelektual dan sosial ? Untuk itu, umat Islam diingatkan oleh Hadits Nabi Muhammad sebagai berikut :” Allah mengirimkan pada akhir tiap abad, seorang laki-laki kepada umat-Nya untuk menyegarkan agama-Nya dan mengaturnya kembali” (HR. Abu Hurairah). Dan Firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Maidah: 3 yang artinya, “ Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku”.
Penutup
Masyarakat dan bangsa-bangsa penganut materialisme-kapitalisme dan materialisme-komunisme/sosialisme telah mentakan kegagalannya dalam modernisasi kehidupan ; mereka gagal dan tak berani mempersatukan kedua bagian wujud insan, yakni gumpalan tanah liat dan tiupan roh. Mereka telah sadar akan penderitaannya akibat percobaan pahit dari modernisasi materialisme selama lebih dari dua abad terakhir ini. Kini mereka mengintip, mulai menengok Islam, dan meminta bantuan pada umat Islam. Dan untuk itulah kita sekarang memerlukan laki-laki yang Mujaddid yang memimpin Ilmu Pengetahuan, perubahan, perbaikan, penyegaran, dan pelurusan kembali kehidupan umat menurut Al-Islam.

wallahu a'lam. (by : wahyupenamasciamis)

Daftar Bacaan

Depag RI, 1987 Quran dan Terjemahnya
A.B. Shah, 1987 Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor
H.A.M. Saefuddin, 1989 Pengantar; dalam Yusuf Qardlawi,“Metode dan Etika
Pengembangan Ilmu”, Rosda Bandung
______________, 1985. Akhlak dan Teknologi. Bulettin Dakwah DDI. Jakarta
Ziauddin Sardar, 1987. Masa Depan Islam, Pustaka Salman Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar