Selamat Datang di ranah PZW Ciamis

Kami siap menampilkan informasi seputar Zakat dan Wakaf di Kabupaten Ciamis

Rabu, 14 April 2010

Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam

Menurut konsep Islam, bahwa manusia itu diciptakan dari intisari tanah dan berkembang dalam kandungan ibu menurut evolusi mani, darah, daging dan tulang. Setelah masa empat bulan perkembangan, dihembuskanlah ke dalamnya roh atau jiwa. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Nuh ayat 141; Surat Al-Mukminun ayat 12-16; dan Surat Al-Sajdah ayat 7-9;serta hadits Nabi Muihammad SAW, yang berbunyi :
انّ احدكم يجمع خلقه في بطن امّه اربعين يوما نطفة ثم ّ يكون علقة مثل ذلك
ثمّ يكون مضغة مثل ذلك ثم ّ يرسل اليه الملك فينفخ فيه الرّوح - رواه البخاري ومسلم -


Artinya :
Kamu diciptakan dalam kandungan ibu empat puluh hari mani,selama itu pula gumpalan darah, dan selanjutnya selama itu pula gumpalan daging; kemudian dikirimkanlah malaikat dan ia hembuskan ke dalamnya roh… (Al-Hadits).

Dengan demikian, manusia tersusun atas dua unsur, yaitu unsur materi, yakni tubuh yang berasal dari intisari tanah di alam materi (di bumi ini);dan unsur immateri, yakni jiwa yang berasal dari alam immateri atau alam gaib. Tubuh akan kembali ke tanah dan jiwa akan kembali ke alam gaib atau alam rohani.(Harun Nasution, 1983. hal.59-61) Lantas apakah yang membuat janin hidup dan berkembang dalam kandungan ibu selama empat bulan ?, menurut ibn Maskawaih seperti yang dikutip Harun Nasution: yang membuat janin hidup dan berkembang adalah hayat yang terdapat dalam sperma dan ovum, dengan demikian jiwa (ruh) bukanlah hayat.(Harun Nasution, Ibid hal. 62))
Jiwa itu sendiri mempunyai dua daya, yaitu daya fikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut kalbu (mengenai daya berfikir dapat dibaca antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 164; dan daya merasa dapat dibaca pada QS. Asy-Syu’ara ayat 192-194, QS. Al-Hujurat ayat 7, dan QS. Al-Hajj ayat 46).
Dalam sejarah Islam, kedua daya tersebut di atas dikembangkan oleh para ulama. Kaum Filosof lebih mengembangkan akal daripada kalbu, sedangkan kaum Sufi sebaliknya lebih mengembangkan daya rasa daripada daya pikir. Di masa lampau umat Islam lebih mengutamakan keindahan rohani dengan ketinggian akal dan kesucian hatinya. Karena itu, Insan Kamil di masa lampau dijumpai dalam bidang filsafat, terutama dalam bidang tasawuf. Filosof, ulama tauhid dan ulama fikih masa lampau selalu memperhatikan pembinaan kalbu melalui ibadah yang banyak, dan sufi tidak pula mengabaikan pembinaan akal kalbu ilmu fikih, ilmu tauhid, bahkan juga melalui filsafat.(Harun Nasution, Ibid hal. 62-67)
Adanya ketiga unsur manusia beserta alat-alatnya seperti telah tersebut di atas menunjukkan bahwa penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia merupakan makhluk pilihan (QS.20 : 122); dijadikan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. 95:4); manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan bermartabat (QS.17:70); dibandingkan dengan makhluk lain, manusia memiliki kapasitas intelegensia yang paling tinggi (QS.2:31-33); manusia mempunyai kecenderungan dekap kepada Tuhan dan sadar akan kehadiran-Nya jauh di dasar sanubarinya, penyimpangan dan keingkaran kepada-Nya muncul ketika ia menyimpang dari fitrahnya (QS.7:127;30;43); manusia memiliki kesadaran moral yang dapat membedakan baik dan jahat melalui inspirasi fitri yang ada padanya (QS.61:7-8); segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia, karenanya manusia berhak memanfaatkannya dengan cara yang sah (QS. 2:29; 45:13); jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan dzikir atau mengingat Allah (QS.13 28; 84:6); setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia setelah ia meninggal dan selubung rohnya disingkapkan (QS.50:22); manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan baik sejak awal (QS.30:30); manusia diberi kebebasan kemauan, bebas untuk memilih tingkah lakunya sendiri (QS.18:29)

Hakekat Manusia bagi pendidikan

Untuk memajukan kehidupannya, manusia diperintahkan untuk belajar secara terus-menerus sepanjang hidupnya, dan ia telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai Khalifah dan pengelola di muka bumi, dan memanfaatkan semua yang ada untuk kemajuan dan kesejahteraan hidupnya dalam rangka memenuhi tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada Pencipta-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, Surah az-Zariyat :56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”

Itulah antara lain latar belakang keyakinan yang mendasar bahwa seluruh proses kehidupan manusia ditandai dengan kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan. Hal ini senada dengan pernyataan Profesor Rupert C. Lodge yang menyatakan bahwa hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup. (Rachmat Djatnika, 1986, hlm.92)
Manusia hidup tidak sebatas insting seperti halnya hewan. Dengan akal, perasaan, kemauan, dan kemampuan-kemampuan yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya dan menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai cita-citanya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampai, kini, dan mendatanag, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk sejarah.
Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin meniptakan dunia kehidupannya sendiri dan mengatasi dunia relitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui diri sendiri secara terus-menerus.(Fuad Hassan, 1983, hlm.30-34) Dengan kata lain, manusia di samping sebagai makhluk sejarah, ia juga dikuasai sejarah. Oleh karena itu, ia tidak hanya berada dalam dunianya, tetapi ia hidup bersama dan berdialog dengan kehidupan. (Paulo Freire, 1971.hlm.76-77)
Menurut Iman al-Ghazali, salah satu sifat kodrati manusia ialah : tidak berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. (Al-Ghazali, antara lain :1986,1976, dan 1983) Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Makin jauh rahasia alam yang dapat diselidiki, makin banyak daeerah misteri yang tidak diketahui, dan makin tinggi kekagumannya kepada Penciptanya, sebagaimana dikatakan oleh Joachim Wach dalam bukunya Sociologi of Religion : Mysterium, tremendum et fascinosum.(Joachim Wach, 1971,hlm.14)
Sadar akan kodratnya yang tidak mau berhenti mencar kebenaran, sedang selalu ada tabir rahasia yang tidak terungkap, maka manusia dalam mengembangkan kehidupannya selalu berada dalam dua modalitas kebebasan untuk mandiri dan ketergantungan dengan alam dan masyarakatnya, maka terjadilah pertentangan yang terus-menerus antara individu dan masyarakat.
Tetapi bagaimanapun individu pada akhirnya harus dapat menemukan identitas kepribadiannya sendiri, yang berbeda dengan orang lain. Ia harus menyadari dan mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan, dan maksud Tuhan menciptakan makhluk atau semua yang ada ini.
Itulah sebabnya, maka pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, tetapi dalam prakteknya banyak lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang cenderung lebih mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan daripada keduniawian, karena kehidupan ukhrawi dpandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi dipandang sebagai sementara dan bukan terakhir.
Berbeda dengan konsep tabularasa dari John Locke (1632-1704) yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagaimana kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya kemana jiwa itu akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata lain, kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat. Dalam filsafat Agama Islam, manusia adalah zat theomorfis dalam persaingannya. Artinya merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan. Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem “Allah – Syaithan”.(Ali Syari’ati,1980.hlm.125).Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya terserah kepada manusia sendiri. Manusia mempunyai kehendak bebas, ia berpeluang untuk menjadi orang jahat bagaikan syetan, dan ia juga berpeluang untuk menjadi orang shaleh yang amat dekat kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, Surah al-An’am:164 :

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(164)
“…..Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemadharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain, kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Sebagai zat theomorpis, manusia mampu menyadari bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan yang utuh, semua fenomena alam semesta bersifat kausal, utuh dan kontinum, di mana setiap sesuatu mempunyai posisi dan peran masing-masing secara otonom, tetapi ia menjadi bermakna hanya karena kaitannya dengan keseluruhan. Inilah sebabnya, maka agar dapat diperoleh kebenaran yang utuh, kita tidak boleh melihat sesuatu secara sepotong-potong, terlepas dari ikatannya dengan keseluruhan. Bagi orang yang benar-benar pasrah kepada Tuhan, ia mampu menerima setiap peristiwa betapa tragis dan menyakitkan sebagai suatu hal yang tidak final, karena hal itu merupakan bagian dari keseluruhan, yang pada akhirnya kembali kepada Penciptanya, dan oleh karena itu diyakini akan berakhir pada tujuan yang baik, yang pada saat ini belum diketahui tetapi telah diyakini kebenarannya.(Ismail R. faruqi, 1984. hlm.56-64)
Itulah sebabnya mengapa salah satu prinsip dari sistem pendidikan Islam adalah menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia meliputi dimensi jasmani dan rohani, dan sesuai dengan fitrahnya meliputi semua aspek kemanusiaan dan kehidupan, baik yang dapat dijangkau oleh akal maupun yang hanya dapat diimani melalui kalbu. Semuanya dikembangkan secara menyeluruh dan seimbang, bukan hanya akalnya, tetapi juga kalbunya, bukan hanya lahiriahnya, tetapi juga bathiniahnya. (Muhammad Qutub,1984. hlm.27-28)
Dengan demikian , pendidikan – menurut konsep Islam – antara lain berarti mengembangkan, melatih, memfungsikan, serta mengoptimalkan fungsi-fungsi berbagai macam alat manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah secara integral sebagai manifestasi dari rasa syukur kepada-Nya.

What is The ISLAM ???

Islam pada dasarnya adalah penyerahan absolut manusia kepada Tuhan. Dari akar kata Aslama, secara harfiah Islam berarti Kepasrahan. Karena itu, Islam yang berpangkal pada kepasrahan, bukan hanya khas ajaran Muhammad. Semua Nabi dan Rasul Allah termasuk 124 ribu Nabi yang tidak disebut dalam Al-Quran, tidak membawa amanat lain kecuali pesan kepasrahan diri pada Tuhan. ( Q.S. Al-Baqarah : 133)

"Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."

Masalahnya; ajaran-ajaran para Rasul itu kini telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga pesan Kepasrahan hanya pada Allah menjadi rancu dan selanjutnya memunculkan bentuk-bentuk kepasrahan yang lain.
Dalam tubuh Umat Islam sendiri, Keimanan pada Allah baru sebatas pengakuan secara formal dan kesediaan melaksanakan hal-hal yang bersifat ritual,
Ibadah ritual sering dianggap sebagai tujuan akhir, sehingga mengerjakan shalat pun sekedar terbebas dari kewajiban dan ancaman Allah. Ibadah dilakukan hanya untuk mengisi absensi, atau supaya tidak defisit pahala. Istilah Lillahi ta’ala hanya tinggal di bibir.
Lebih parah lagi kalau masalah ibadah ritual sudah diramaikan oleh Ego masing-masing pengekor madzhab. Perbedaan furu’iyah diperuncing dengan motif politis dan akhirnya merobek tatanan kepasrahan kepada Allah, lantas haruskah Allah dibagi-bagi menjadi Tuhan-Tuhannya Madzhab ?..
Mungkinkah, gara-gara definisi Shalat: “Ucapan-ucapan dan gerakkan-gerakkan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”, Shalat sebagai tiang pokok agama itu tercabut dari fungsinya,? yaitu : menciptakan suasana yang humanis, liberalis, dan transenden.
Kita sering bangga melihat orang patuh mengerjakan shalat, bahkan ke mekkah pun tak cukup sekali, akan tetapi kebanggaan itu lenyap seketika ketika kita tahu bahwa kepatuhan itu hanya sering tersisa di mesjid dan pada saat shalat, atau pada saat ibadah haji, sementara peningkatan mutu mentalitas atau perilaku belum begitu tampak dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa , buktinya ? silakan chek sekeliling kita, betapa banyak bangsat mengaku dermawan, dan dorna mengaku ulama. Semoga kita tidak……………………………………..

Wassalam, Wahyu Penamas.

LEBARAN; MUDIK DAN BERHASIL MENJADI KOMUNITAS TERBAIK

Salah satu hikmah dari ber-Iedul Fitri adalah berubahnya sifat kebersamaan social kita yang tadinya hanya bersifat kuantitatif (community atau society), sekarang menjadi kualitatif (Bukan sekedar komunitas melainkan telah menjadi sebuah ummah).

Ummah atau umat itu berbeda dengan community yang hanya sekedar perkumpulan manusia. Dalam konsep Ummah, manusia itu sederajat di hadapan Allah. Tolok ukur kemulyaan manusia hanya satu dan sangat ruhaniah, yaitu ketakwaan. Maka kalau di antara suatu komunitas Muslim ada kedudukan dan fungsi-fungsi yang membuat seseorang menindas dan yang lainnya ditindas, maka konsep Ummah belum terpenuhi.

Apakah secara kualitas kita telah sungguh-sungguh ber-Idul Fitri atau belum. Tetapi memang berlalunya hari raya demi hari raya selama ini belum cukup mengubah perhubungan social yang eksploitatif, diskriminatif, dan represif di antara kaum Muslimin sendiri.

Iedul Fitri itu kembali Fitrah; Kembali dari kekalahan menuju kemenangan. Bukan kemenangan atas orang lain, melainkan sanggup mengendalikan diri, meyelesaikan segala kondisi diri kepada apa yang dikehendaki Allah.

Iedul Fitri itu Iedul Bayi. Kalau kita sudah sanggup seperti bayi, menanglah kita. Bayi itu kalau menangis, ya karena ia jujur mau menangis. Kalu ia omong, tak ada jarak apalagi pertentangan antara kata-katanya dengan suara hati dan fikirannya. Kalau senang ia tertawa, tak ada yang disembunyikan, dalam arti ia jujur sejujur-jujurnya. Bayi tak punya kesanggupan untuk kufur terhadap Sunnatullah.

Dalam konteks budaya kita, ucapan "selamat Iedul Fitri" sama dan sebangun dengan ucapan "Selamat Lebaran". Secara harfiyah, “Lebar” adalah bahasa jawa yang berarti "usai". Usai training menuju “pertandingan” yang sebenarnya. Sebab puasa Ramadhan itu sekedar berlatih, agar kita sanggup berpuasa atau “mewajarkan” konsumsi – konsumsi hidup sehari-hari, atau berpuasa apa pun secara mikro maupun makro. Dengan Lebaran itulah mestinya kita memulai puasa yang sesungguhnya dalam mengarungi hiruk-pikuk kehidupan.

Dalam Lebaran ada ucapan Minal ‘Aidin wal Faizin, fi Kulli “Amin wa Antum bikhair. Maksud do’a itu adalah bahwa sesudah lulus puasa, kita menjadi tergolong dalam kalangan orang yang kembali (wajar) dan menang, di sepanjang tahun mudah-mudahan semua terawat dalam kebajikan.

Dari perspektif 'Ummah", berarti orang yang kelaparan dan kekenyangan itu kalah. Juga orang yang terlalu miskin dan terlalu kaya itu kalah, keduanya mudah terpeleset ke dalam kondisi Kufur. Yang menang adalah yang biasa-biasa, bukankah puasa Ramadhan menggiring kita agar menjadi yang tengah-tengah, yang sedengan. Umat Islam juga disebut Ummatan wasathan, yang moderat, lentur, bukan kaku dan lembek; Tak kurang, tak lebih, tak radikal, tak kompromis; Tidak foya-foya, tidak menyiksa diri; Tidak hedonis, tidak masokhis; Sakmadya alias meujeuhna atawa Pas, itulah yang terbaik.